Minggu, 29 Juni 2014

Reinkarnasi Perspektif Islam



Reinkarnasi dalam perspektif Hindu disebut dengan "punarbawa" yang berasal dari bahasa Sansekerta. Punar artinya kembali, bawa artinya lahir. Jadi Punarbawa adalah suatu kepercayaan tentang kelahiran yang berulang ulang atau suatu proses kelahiran yang biasa disebut dengan penitisan, atau samsara.
Seseorang yang meninggal dunia dan jiwanya belum melakukan pensucian dengan sempurna (belum moksa), akan bereinkarnasi ke makhluk berikutnya. Bahkan dimungkinkan bereinkarnasi ke hewan.
Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi sebagaimana reinkarnasi Hindu. Dalam Islam yang dikenal adalah konsep reinkarnasi dalam dimensi jiwa. Dimana jiwa manusia -seharusnya- mengalami proses penyempurnaan di dunia ini. Untuk memahami ini, kita memang harus memahami perbedaan jasad, jiwa dan ruh.
“Jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91: 7-10)
Untuk kemudahan, dapat digambarkan bahwa jiwa manusia ada kualitas-kualitasnya. Misalnya kualitas A, B, C, D, E, F, G. Kualitas A adalah kualitas jiwa terbaik (ketika sudah sempurna pensuciannya), sedangkan G adalah kualitas jiwa terburuk (yang penuh dalam dominasi hawa nafsu dan syahwat). F, E, D, C, B adalah gradasi diantara keduanya.
Proses reinkarnasi dalam Islam adalah proses pensucian dan penyempurnaan jiwa, bukan penitisan. Seorang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, akan berproses, beralih dari jiwa kualitas G, ke kualitas F, beralih ke kualitas E, dan seterusnya sampai sempurna ke kualitas A. Nah ketika proses tersebut terjadi, dibahasakan jiwa kualitas G mati, dan terlahir dalam jiwa kualitas F, jiwa kualitas F mati lalu terlahir dalam jiwa kualitas E dan seterusnya. Proses ini sudah terjadi ketika kita masih hidup di dunia ini.
Hal inilah yang dikatakan dalam Al Quran :
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan di hidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya lah kamu di kembalikan.” (QS 2:28)
Jalaludin Rumi dalam maddahnya mengatakan:
Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang,
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku mesti takut? Maut tak menyebabkanku berkurang!
Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia,
Dan melambung bersama malaikat;
dan bahkan setelah menjelma malaikat aku harus mati lagi; 
segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami.
***
Proses penyempurnaan diri paling efektif sebenarnya terjadi di dunia ini mas, dibandingkan di alam barzakh atau alam berikutnya. Karenanya mari kita maksimalkan ketika kita ada di dunia ini.
Katakan saja proses penyempurnaan dari G menuju A, dan baru saja sampai F, kita sudah wafat. Bagaimana selanjutnya?
Pertama
Kalau seseorang sungguh-sungguh berjihad bertransformasi dari G ke A dan wafat ketika baru sampai F, bukan mustahil bagi Allah menghargai kesungguhan jihadnya dengan mengangkat jiwa orang tersebut langsung ke A. Inilah yang dimaksud dalam banyak hadits-hadits seperti orang yang sudah membunuh 100 orang, namun karena sungguh-sungguh ingin bertaubat, walaupun wafat sebelum sampai ke kota tujuan, tetapi diangkat derajatnya oleh Allah Swt sebagai derajat orang-orang yang sudah sampai tingkatan A.
Hadis Abu Said Al-Khudriy r.a:  Nabi s.a.w bersabda: Seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kamu telah membunuh seramai sembilan puluh sembilan orang manusia, lalu dia mencari seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang pendeta, dia terus berjumpa pendeta tersebut kemudian berkata: Aku telah membunuh seramai sembilan puluh sembilan orang manusia, adakah taubatku masih diterima? Pendeta tersebut menjawab: Tidak. Mendengar jawapan itu, dia terus membunuh pendeta tersebut dan genaplah seratus orang manusia yang telah dibunuhnya. Tanpa putus asa dia mencari lagi seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang Ulama, dia terus berjumpa Ulama tersebut dan berkata: Aku telah membunuh seramai seratus orang manusia. Adakah taubatku masih diterima? Ulama tersebut menjawab: Ya! Siapakah yang boleh menghalang kamu dari bertaubat? Pergilah ke Negeri si polan, kerana di sana ramai orang yang beribadat kepada Allah. Kamu beribadatlah kepada Allah s.w.t bersama mereka dan jangan pulang ke Negerimu kerana Negerimu adalah Negeri yang sangat hina. Lelaki tersebut beredar menuju ke tempat yang dinyatakan. Ketika berada di pertengahan jalan tiba-tiba dia mati, menyebabkan Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab bertelingkah mengenainya. Malaikat Rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah s.w.t. Manakala Malaikat Azab pula berkata: Dia tidak pernah melakukan kebaikan. Lalu Malaikat yang lain datang dalam keadaan berupa manusia dan cuba menghakimi mereka sambil berkata: Ukurlah jarak di antara dua tempat. Mana yang lebih hampir, itulah tempatnya. Lantas mereka mengukurnya. Ternyata mereka dapati lelaki tersebut lebih hampir kepada negeri yang ditujunya. Akhirnya dia diambil oleh Malaikat Rahmat. (Hadis Riwayat Imam Muslim: hadis ke 4967)
Demikian pula pada orang-orang yang berperang di jalan Allah. Sebenarnya dalam terma al Quran syuhada adalah sebuah level ketaqwaan dibawah Shiddiqiin, dimana ketika seseorang dalam level ketaqwaan ini, ia dapat menjadi saksi Allah sebenar-sebenarnya. (lihat QS 4:69)
Nah, orang yang berperang di jalan Allah dengan tulus ikhlas, dan peperangannya juga dibenarkan oleh Allah, ketika mereka wafat jiwanya “diangkat” derajatnya oleh Allah ke derajat para Syuhada (tingkatan A), walaupun sebenarnya saat itu ia masih pada tingkatan jiwa yang sangat-sangat rendah.
Mengingat bahwa kesungguhan dalam bertaubat akan dihargai oleh Allah, maka marilah kita tumbuhkan semangat yang kuat dalam menapaki jalan pertaubatan ini.
Kedua.
Seorang yang kurang sungguh-sungguh atau bahkan tidak bersungguh-sungguh. Ketika ia wafat sementara baru sampai F, maka proses transformasinya akan dilanjutkan di alam berikutnya.
Kita mengenal adanya apa yang disebut dengan siksa kubur. Ketahuilah bahwa siksa kubur ini menyebabkan proses pembersihan. Orang yang katakan saja wafat dalam tingkatan F, setelah disiksa selama 20 tahun alam barzakh berpindah ke tingkatan E.
Padahal siksa 20 tahun alam barzakh ini faedah pensuciannya sama dengan kalau kita tawakal dan ridla ketika memiliki tetangga yang suka menyakiti diri kita, atau sakit yang kita derita, atau kondisi ekonomi kita yang buruk, atau kesabaran terhadap keburukan sifat pasangan hidup kita, atau kita yang tidak dikaruniai anak. Sayangnya kebayakan kita tidak ridla terhadap kesusahan yang terjadi di dunia, sehingga kesusahan2 tersebut tidak sama sekali mensucikan diri kita.
Seandainya kita menyadari bahwa proses pensucian di dunia jauh lebih efektif dibandingkan di alam berikutnya, maka orang akan menyediakan dirinya berusaha ridla terhadap musibah yang hadir, sebagai jalan pensucian dirinya.
Wallahu a’lam…

Ref: