Senin, 30 Juni 2025

Educational Design Research (EDR) Menurut Plomp (2013) : Konsep dan Aplikasinya

Educational Design Research (EDR) adalah pendekatan metodologis dalam penelitian pendidikan yang berorientasi pada pengembangan solusi praktis terhadap masalah-masalah pembelajaran, sekaligus menghasilkan kontribusi teoretis. Pendekatan ini dikembangkan secara sistematis oleh Tjeerd Plomp, seorang pakar pendidikan asal Belanda, dan telah menjadi rujukan utama dalam penelitian pengembangan model pembelajaran inovatif. 

1. Konsep Dasar EDR

Menurut Plomp (2013), EDR memiliki tiga karakter utama:

  • Bersifat Intervensi Praktis: Tujuan utamanya adalah menghasilkan solusi yang kontekstual dan bermanfaat bagi praktik pendidikan, seperti model pembelajaran, perangkat ajar, atau kebijakan pendidikan.
  • Berbasis Teori dan Berkontribusi pada Teori: EDR tidak hanya menyelesaikan masalah praktis, tetapi juga memperkuat dan mengembangkan teori pendidikan melalui refleksi sistematis.
  • Bersifat Iteratif dan Kolaboratif: Proses penelitian dilakukan melalui siklus reflektif yang melibatkan kolaborasi antara peneliti dan praktisi secara aktif.

2. Tiga Fase Utama EDR (Plomp, 2013)

EDR terdiri dari tiga fase utama yang saling berkelanjutan: 

a. Preliminary Research (Analisis dan Eksplorasi)

Pada tahap awal ini, peneliti melakukan analisis kebutuhan, studi literatur, dan observasi lapangan. Tujuannya adalah mengidentifikasi masalah utama, merumuskan tujuan pengembangan, serta merancang kerangka konseptual yang akan menjadi dasar model.

Contoh aplikasi: Melakukan wawancara dengan guru SMK dan studi literatur untuk menyusun kerangka awal model STEAM-A berbasis nilai akhlak. 

b. Design and Construction (Desain dan Konstruksi)

Fase ini melibatkan perancangan solusi dalam bentuk model pembelajaran, perangkat ajar, dan sintaks implementasi berdasarkan teori dan hasil eksplorasi. Setelah itu, dilakukan validasi ahli dan revisi awal.

Contoh aplikasi: Menyusun sintaks pembelajaran STEAM berbasis EDP (Define, Plan, Design, Create, Evaluate) serta perangkat RPP dan LKPD yang mencerminkan nilai-nilai karakter. 

c. Evaluation and Reflection (Evaluasi dan Refleksi)

Fase ini terdiri dari evaluasi formatif (dalam proses pengembangan) dan evaluasi sumatif (setelah implementasi). Tujuannya adalah menilai keefektifan model dan merefleksikan hasilnya untuk pengembangan lebih lanjut.

Contoh aplikasi: Melakukan uji coba model di kelas kewirausahaan SMK, lalu menganalisis data angket, observasi, dan wawancara untuk menyempurnakan model pembelajaran. 

3. Aplikasi EDR dalam Pengembangan Model STEAM-A Berbasis CB-EDP

Dalam konteks pengembangan model pembelajaran kewirausahaan berbasis STEAM-A dengan pendekatan Character-Based Engineering Design Process (CB-EDP), pendekatan EDR menjadi sangat relevan. EDR tidak hanya memungkinkan pengembangan model yang sesuai kebutuhan lokal (SMK), tetapi juga mendasarkan prosesnya pada teori-teori yang kuat dan data lapangan yang valid.

  • EDR memungkinkan integrasi teori konstruktivisme, nilai Aswaja, dan prinsip CQI (Continuous Quality Improvement) secara terpadu.
  • Penggunaan siklus PDSA dalam desain pembelajaran adalah bentuk nyata dari penerapan applied theory dalam kerangka EDR.
  • Melibatkan guru, siswa, dan praktisi industri sebagai bagian dari proses evaluasi dan refleksi mencerminkan prinsip kolaboratif dalam EDR. 

4. Kesimpulan

Pendekatan Educational Design Research (EDR) menurut Plomp memberikan kerangka metodologis yang kuat untuk merancang dan mengembangkan model pembelajaran yang adaptif, berbasis data, dan kontekstual. Dengan mengintegrasikan tiga fase utama — eksplorasi, desain, dan evaluasi — EDR menjamin bahwa produk yang dihasilkan tidak hanya valid secara ilmiah, tetapi juga relevan dan aplikatif di lapangan. Dalam konteks pengembangan pembelajaran STEAM berbasis EDP, EDR menjadi pendekatan strategis untuk menjawab tantangan pendidikan abad 21 secara sistematis dan terukur.

GRAND THEORY

 

Teori memiliki posisi yang sangat penting dalam membingkai arah pengembangan model dalam konteks penelitian pendidikan. Teori tidak hanya menjadi kerangka berpikir, tetapi juga bertindak sebagai pijakan ilmiah yang menjamin validitas dan relevansi suatu model yang dikembangkan. Salah satu unsur yang wajib dimiliki oleh penelitian pengembangan adalah adanya teori besar atau grand theory, yang memberikan landasan filosofis terhadap pemahaman tentang bagaimana pendidikan seharusnya diselenggarakan.

Grand theory merupakan teori makro yang bersifat luas dan abstrak, seperti konstruktivisme, behaviorisme, atau teori manajemen pendidikan. Teori ini menjadi pijakan dalam melihat hakikat belajar, peserta didik, dan tujuan pendidikan secara umum. Dari grand theory ini kemudian diturunkan teori menengah (middle-range theory), yang bersifat lebih spesifik dan aplikatif. Misalnya, dalam pengembangan model STEAM berbasis EDP, digunakan teori Continuous Quality Improvement (CQI) dari Deming (1986), dan teori Educational Design Research (EDR) dari Plomp (2013) sebagai middle theory yang menjembatani antara landasan filosofis dan desain praktis model pembelajaran.

Applied theory atau teori terapan berada pada level paling konkret. Teori ini bersifat kontekstual dan langsung diterapkan dalam proses penyusunan model, misalnya penggunaan siklus PDSA dalam tahapan pembelajaran. Meskipun applied theory tetap memiliki struktur teoritis, sifatnya lebih operasional dan langsung digunakan dalam desain maupun pengujian model.

Dengan demikian, pengembangan model pembelajaran merupakan hasil sintesis dari berbagai tingkat teori: grand theory membentuk kerangka dasar pemahaman; middle theory menjelaskan hubungan antar elemen dalam konteks yang lebih spesifik; dan applied theory memberikan arahan teknis terhadap implementasi di lapangan. Sinergi dari ketiga level teori ini menjadi fondasi kokoh dalam merancang model pembelajaran yang relevan, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Jumat, 27 Juni 2025

FRAGMENTASI DUNIA ISLAM DAN KEGAGALAN MEMBANGUN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSAL

Pendahuluan

Pendidikan Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga era kejayaan peradaban Islam dikenal sebagai sistem yang integral, menyatukan antara ilmu, amal, dan akhlak. Namun, dalam konteks modern, umat Islam menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan berbasis epistemologi Islam yang mapan dan universal. Salah satu faktor penyebab utama adalah fragmentasi dunia Islam, baik dari segi politik, intelektual, maupun kultural. Fragmentasi ini telah menghambat lahirnya sebuah framework epistemologis pendidikan Islam yang diakui secara kolektif oleh dunia Muslim.

 

1. Makna Fragmentasi Dunia Islam

Fragmentasi dunia Islam merujuk pada kondisi terpecahnya umat Islam dalam berbagai aspek:

Politik: Hilangnya kepemimpinan tunggal Islam sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924) memunculkan lebih dari 50 negara Muslim yang berjalan dengan kebijakan pendidikan masing-masing.

Mazhab dan pemikiran: Perbedaan pendekatan fiqih dan kalam berkembang menjadi polarisasi intelektual yang kurang terjembatani.

Bahasa dan budaya: Bahasa Arab sebagai bahasa ilmu mulai tergeser, digantikan oleh bahasa nasional dan lokal tanpa basis epistemik bersama.

Institusi pendidikan: Tidak ada koordinasi atau standardisasi epistemologi antar universitas Islam lintas negara.

 

2. Dampak Fragmentasi terhadap Epistemologi Pendidikan

Fragmentasi dunia Islam melahirkan beberapa persoalan:

Absennya otoritas epistemologis bersama: Tidak ada lembaga seperti "Majelis Epistemologi Islam Internasional" yang menyusun teori pendidikan Islam secara sistemik.

Ilmuwan dan lembaga berjalan sendiri-sendiri: Upaya dari tokoh seperti Al-Attas (Malaysia), Al-Faruqi (AS), Langgulung (Indonesia), Al-Ghazali (Turki) tidak terintegrasi dalam satu proyek kolektif.

Ketergantungan pada teori Barat: Akibat tiadanya teori besar pendidikan Islam yang sistematis, banyak sarjana Muslim menggunakan teori Barat (Bloom, Piaget, Vygotsky) dalam kurikulum Islam.

Kurikulum dan teori pendidikan Islam bersifat lokal dan sektoral: Tidak ada kurikulum tunggal atau teori universal yang dapat dijadikan rujukan oleh semua lembaga pendidikan Islam.

 

3. Realitas Sistem Pendidikan Negara Muslim

Tiap negara Muslim mengembangkan sistem pendidikan secara terpisah:

Mesir: Tradisional di Al-Azhar dan sekuler di universitas nasional.

Indonesia: Dualistik antara sekolah umum dan madrasah.

Malaysia: Upaya integrasi lewat IIUM dan ISTAC, tapi belum direplikasi.

Pakistan, Turki, Tunisia: Cenderung sekuler atau terfragmentasi antara madrasah dan sekolah modern.

 

4. Akibat Langsung:

Gagalnya Penyusunan Framework Pendidikan Islam Universal

Tanpa kerangka epistemologi yang disepakati, konsekuensinya:

Ilmu Islam tidak berkembang sebagai sistem ilmu modern.

Pendidikan Islam hanya menyisipkan nilai moral atau ayat al-Qur’an dalam sistem Barat.

Tidak ada standar kompetensi Islami yang diakui lintas negara.

Dunia Islam kehilangan kesempatan untuk menandingi dominasi epistemologi Barat.

 

5. Solusi Strategis: Membangun Kembali Otoritas Epistemologi Islam

Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan:

Ø  Forum Epistemologi Islam Internasional: Lintas negara dan mazhab, fokus pada penyusunan teori pendidikan Islam.

Ø  Pusat teori pendidikan Islam global: Seperti ISTAC yang diperluas dan diadopsi OIC.

Ø  Kurikulum Islam universal: Integratif antara ilmu naqli dan aqli, dengan kerangka tauhid dan adab.

Ø  Jurnal ilmiah Islam internasional: Berstandar tinggi dan konsisten dengan epistemologi wahyu.

Ø  Pendidikan dosen dan guru Islam: Dilatih dalam filsafat ilmu Islam agar tidak hanya mengimpor teori barat.

 

Penutup

Fragmentasi dunia Islam telah menjadi hambatan besar dalam membangun epistemologi pendidikan Islam yang universal. Tanpa kesatuan visi, umat Islam akan terus menjadi konsumen teori Barat, bukan produsen ilmu yang beradab. Kebangkitan ilmu Islam hanya mungkin jika kita mampu menyatukan potensi intelektual dan institusional lintas dunia Muslim dalam satu proyek besar: membangun sistem ilmu berbasis tauhid, akhlak, dan wahyu sebagai dasar pendidikan masa depan.

 

Referensi:

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon: IIIT.

Langgulung, H. (1986). Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Wan Daud, W. M. N. (2011). Falsafah dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Rahman, F. (1984). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.


Kamis, 26 Juni 2025

PENGEMBANGAN BUTIR TES ACUAN PATOKAN (Revisi)

A.    Pendahuluan

 

Dalam implementasi strategi instruksional, tes merupakan salah satu unsur penting yang mesti dilakukan. Tes merupakan alat ukur yang digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. Tes pengukur keberhasilan juga dikenal dengan Penilaian Acuan Patokan (PAP). Dinamakan penilaian acaun patokan karena keberhasilan siswa dalam pembelajaran ditentukan dengan kriteria yang ditetapkan sebelum tes dilaksanakan.[1]

Tipe test ini penting untuk mengevaluasi perkembangan pebelajar dan kualitas pembelajaran. Hasil dari tes acuan patokan memberikan indikasi tingkat pencapaian tujuan pembelajaran, dan mengindikasikan komponen mana dari pembelajaran yang bisa berjalan dengan baik, dan komponen mana yang perlu direvisi. Selain itu juga, tes acuan patokan memungkinkan pebelajar untuk merefleksikan diri dengan mengaplikasikan kriteria untuk menilai hasil kerja mereka sendiri.

 

B.    Konsep Tes Acuan Patokan

Suatu penilaian disebut PAP jika dalam melakukan penilaian itu mengacu kepada suatu kriteria pencapaian tujuan instruksional yang telah dirumuskan sebelumnya. Nilai-nilai yang diperoleh siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan (mastery) siswa tentang materi pengajaran sesuai dengan tujuan instruksional yang telah ditetapkan.[2]

Penilaian acuan patokan berfungsi untuk mengukur kemampuan pebelajar seperti yang tertuang dalam tujuan yang telah ditetapkan.

Tingkah laku yang harus dicapai siswa tergambarkan dalam kompetensi dasar. Dalam hal ini kompetensi dasar masih bersifat umum, sehingga tingkah laku dimaksud perlu dijabarkan dalam indikator-indikator hasil belajar secara lebih spesifik. Ini berarti bahwa penyusunan item tes disusun setelah indikator-indikator hasil belajar telah ditetapkan. Satu atau lebih item tes dapat saja mengukur satu indikator yang sama. Dengan demikian, item tes harus disusun paralel dengan rumusan indikator hasil belajar yang ditetapkan.

Menurut Dick dan Carey dalam Sanjaya (2008:236), PAP dapat dilakukan sebagai :

1. Tes prasyarat (entry behavior test)

Tes ini diberikan kepada pebelajar sebelum memulai pembelajaran. Tes ini berguna untuk mengukur keterampilan syarat atau keterampilan yang harus sudah dikuasai sebelum pembelajaran dimulai. Keterampilan syarat akan muncul di bawah garis entry behavior.

2. Pre-test

Tes ini dilakukan pada awal pembelajaran untuk mengetahui apakah pebelajar sudah menguasai beberapa atau semua keterampilan yang akan diajarkan. Tujuannya adalah untuk efisiensi. Jika semua keterampilan sudah dikuasai maka tidak perlu ada pembelajaran. Namun jika hanya sebagian materi yang sudah dikuasai maka data tes ini memungkinkan desainer untuk lebih efisien. Mungkin hanya review atau pengingat yang dibutuhkan. Bila program tersebut merupakan sesuatu yang baru, maka tes inipun dapat ditiadakan. Maksud dari pretes ini bukanlah untuk menentukan nilai akhir tetapi lebih mengenal profil anak didik berkenaan.

Biasanya pretest dan entry behavior test dijadikan satu. Hasil dari tes entry behavior dapat digunakan desainer untuk mengetahui apakah pebelajar siap memulai pembelajaran, sedangkan dari hasil pretest, desainer dapat memutuskan apakah pembelajaran akan menjadi terlalu mudah untuk pebelajar.

3. Progres test

Tes ini dilakukan secara insidental terutama selama siswa sedang mempelajari satu unit mata pelajaran. Tes ini memungkinkan siswa untuk menampilkan pengetahuan dan keterampilan baru dan untuk refleksi diri sampai level berapa keterampilan dan pengetahuan mereka.

4. Post-test

Tes ini paralel dengan pre-test. Sama dengan pre-test, post-test mengukur tujuan pembelajaran. Post-test harus menilai semua objektif dan terutama fokus pada objektif terakhir. Namun jika waktu tidak memungkinkan, maka hanya tujuan akhir dan keterampilan penting saja yang diujikan.[3]

 

C.   Aspek Kemampuan yang Diuji

Setiap bidang studi mempunyai penekanan kemampuan yang berbeda-beda, karena itu aspek yang diujipun haruslah yang berbeda pula. Aspek ranah kognitif yang akan diuji harus sinkron dengan kemampuan yang ditentukan oleh tujuan pendidikan yang telah dirumuskan terlebih dahulu.

Dalam hubungan inilah kita mengenal adanya 6 tingkatan kemampuan atau kompetensi yang diuji, yaitu: 1. pengetahuan, 2. pemahaman, 3. aplikasi, 4. analisis, 5. evaluai, dan 6. mencipta. Kompetensi tersebut berturut-turut diberi simbol C1, C2, C3, C4, C5 dan C6. Disamping itu tentu juga harus diperhatikan kemampuan dari ranah lain seperti afektif dan psikomotor.

Tingkat usia dan jenjang pendidikan menentukan tingkat ranah kognitif yang diuji. Kadang-kadang terdapat bagian mata pelajaran yang tidak dapat atau sukar diungkap kompetensinya pada tingkat ranah kognitif tertentu, beberapa pokok bahasan bahkan hanya mungkin dibuat soalnya dalam tingkat kompetensi yang rendah.

Untuk mempermudah penyusunan soal agar memenuhi aspek kompetensi tertentu, dituliskan contoh kata kerja untuk menunjukkan hasil belajar dalam masing-masing tingkat kompetensi yang dinyatakan pada tabel berikut. (Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R.: 2001)[4]

 

Tingkat Kompetensi

Contoh Kata Kerja

C.1. Mengingat (Remember)

·      Mengenali (recognizing)

·      Mengingat (recalling)

C.2. Memahami (Understand)

·      Menafsirkan (interpreting)

·      Memberi contoh (exampliying)

·      Meringkas (summarizing)

·      Menarik inferensi (inferring)

·      Membandingkan (compairing)

·      Menjelaskan (explaining)

C.3. Mengaplikasikan (Apply)

·      Menjalankan (executing)

·      Mengimplementasikan (implementing)

C.4. Menganalisis (Analyze)

·      Menguraikan (diffrentiating)

·      Mengorganisir (organIizing)

·      Menemukan makna tersirat (attributing)

C.5. Evaluasi (Evaluate)

·      Memeriksa (checking)

·      Mengritik (Critiquing)

C.6. Mencipta (Create)

·      Merumuskan (generating)

·      Merencanakan (planning)

·      Memproduksi (producing)

 

D. Tipe Tes

Ada tiga tipe soal: (1) esai atau karangan, (2) objektif dengan ciri utama adanya satu jawaban yang dianggap benar atau terbaik, dan (3) problem matematik. Disamping itu masih juga dikenal soal-soal penampilan dan soal lisan. Ada empat format soal objektif yaitu, format A Pilihan Ganda, format B Pilihan Ganda Analisis Hubungan Antar Hal, format C Pilihan Ganda Analisis Kasus, atau format D Pilihan Ganda Komplek.

 

1. Penilaian Pengetahuan

a. Teknik Tes

Untuk menilai pengetahuan dapat kita.pergunakan pengujian sebagai berikut

1) Teknik penilaian aspek pengenalan (recognition). Caranya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan bentuk pilihan berganda yang menuntut siswa agar melakukan identifikasi tehtang fakta, definisi, dan contoh-contoh yang benar (correct),

2) Teknik peniiaian aspek mengingat kembali (recall). Caranya dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka-tertutup langsung untuk mengungkapkan jawaban-jawaban yang unik.

3)Teknik penilaian aspek pemahaman (komprehension). Caranya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut identifikasi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang betul dan yang keliru, kesimpulan atau klasifikasi, dengan daftar pertanyaan menjodohkan yang berkenaan dengan konsep, contoh, aturan, penerapan, langkah dan urutan, dengan pertanyaan bentuk esai (open ended) yang menghendaki uraian, perumusan kembali dengan kata-kata sendiri, dan contoh-contoh.

 

b. Bentuk tes

Penilaian terhadap aspek pengetahuan dapat dilakukan melalui tes lisan atau tes tertulis. Tes lisan hampir tidak pernah digunakan mengingat kesulitan teknis yang dirasakan dalam melaksanakannya, terutama bagi kelas yang besar. Itu sebabnya tes tertulis lebih banyak digunakan oleh guru untuk menilai pengetahuan.

Dilihat dari bentuknya, soal-soal tes tertulis dapat dikelompokkan ke dalam soal-soal bentuk uraian dan soal-soal bentuk objektif.

 

1) Bentuk Uraian

a) Dalam soal-soal bentuk uraian, peserta diminta merumuskan, mengorganisasi, dan menyajikan jawabannya secara terbuka tanpa disediakan kemungkinan-kemungkinan jawaban di dalamnya. Soal-soal bentuk uraian ini dibagi pula atas soal bentuk uraian bebas dan soal bentuk uraian terbatas.

b) Dalam soal bentuk uraian bebas, tingkat kebebasan jawaban yang diminta lebih besar. Dalam soal bentuk uraian terbatas, jawaban yang diminta sudah lebih terarah seperti terlihat dalam soal-soal bentuk uraian. Jika direncanakan dengan baik, sangat tepat untuk menilai proses berpikir seseorang serta kemampuannya mengekspresikan buah pikiran. Kelemahan yang sering dirasakan dalam soal-soal bentuk uraian, terutama bentuk uraian bebas, antara lain ialah terbatasnya lingkup bahan pelajaran yang dievaluasi dan sulitnya mengoreksi (menskor) jawaban dengan objektif. Sehubungan dengan itu, dalam evaluasi hasil belajar terdapat kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan soal bentuk uraian terbatas.

 

2) Soal bentuk objektif

Soal-soal bentuk objektif merupakan tipe yang sangat populer di dalam evaluasi hasil belajar, khususnya evaluasi pada akhir suatu pelajaran. Hal ini disebabkan antara lain oleh luasnya bahan pelajaran yang dapat dicakup dalam tes dan mudahnya penskoran jawaban yang diberikan. Dalam soal-soal bentuk objektif ini dikenal bentuk jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda. Kecuali bentuk jawaban singkat, dalam soal-soal bentuk objektif telah tersedia kemungkinan-kemungkinan jawaban (options) yang dapat dipilih.

 

3) Jawaban singkat

Soal berituk jawaban singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban dalam bentuk kata, ungkapan, bilangan, atau simbol yang jawabannya dapat dinilai dengan benar atau salah.

 

4) Benar-salah

Soal bentuk benar-salah merupakan soal yang berisi pernyataan di mana peserta diminta untuk menilai apakah pernyataan tersebut benar atau salah.

 

5) Menjodohkan

Soal bentuk menjodohkan terdiri atas dua kelompok; yaitu kelompok soal (di sebelah. kiri) dan kelompok pasangan (di sebelah kanan). Peserta dirainta menjodohkan setiap soal di sebelah kiri dengan pasangannya di sebelah kanan,

 

6) Pilihan ganda

Soal bentuk pilihan ganda merupakan soal yang di dalamnya mengandung:

a)Pokok soal (stem) berapa pertanyaan-pertanyaan yang berisi permasalahan yang ditanyakan.

b)Options, yaitu kemungkinan-kemungkinan jawaban yang dapat dipiiih.

c)Kunci, yaitu jawaban yang benar atau paling tepat, dan d) pengecoh (distractors), yaitu kemungkinan-kemungkinan jawaban yang lain di luar kunci. (Hamalik, 2009:211)

 

2. Penilalan Perilaku Keterampilan

Teknik-teknik evaluasi ini dilaksanakan pada pengajaran yang mencakup evaluasi terhadap perilaku keterampilan (skilled performance), Perilaku keterampilan meliputi keterampilan-keterampilan kognitif, psikomotor, reaktif, dan interaktif.

Fungsi utama evaluasi dalarn proses pengajaran adaiah untuk memperbaiki pengajaran. Teknik dan instrumen evaluasi harus peka terhadap bagian-bagian dalam rencana pengajaran yang dapat terlaksana dan bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Untuk memperoleh gambaran tentang hal-hal tersebut, kita perlu menguji tingkat penguasaan keterampilan perilaku para siswa.

 

a. Teknik Evaluasi Keterampilan Reproduktif

1) Aspek keterampilan kognitif, misalnya masalah-masalah yang dikenal baik untuk dipecahkan dalam rangka menentukan ukuranukuran ketepatan. dan kecepatan melalui latihan-iatihan (drill) jangka-panjang, dievaluasi dengan metode-metode objektif tertutup.

2) Aspek keterampilan psiko.motor dievaluasi'dengan tes tindakan terhadap pelaksanaan tugas yang nyata'atau yang disimulasikaxi dan berdasarkan kriteria ketepatan, kecepatan, kualitas penerapan secara objektif. Contoh: keterampilan mengetik, keterampilan menjalankan mesin.

3) Aspek keterampilan reaktif dievaluasi secara langsung dengan pengamatan objektif perilaku pendekatan atau penghindaran secara tak langsung dengan kuesioner sikap.

4) Aspek keterampilan interaktif dievaluasi secara langsung dengan menghitung frekuensi kebiasaan dan cara-cara yang baik yang dipertunjukkan pada kondisi-kondisi tertentu.

 

b. Teknik Evaluasi Keterampilan Produktif .

1) Aspek keterampilan kognitif, misalnya masalah-masalah yang tidak dikenal balk untuk dipecahkan dan pemecahannya tidak begitu rumit, dievaluasi dengan meriggunakan metode terbuka-tertutup (open ended methods).

2) Aspek keterampilan psikomotor, yakni tugas-tugas produktif yang menuntut perencanaan strategic dievaluasi dengan observasi dan diskusi.

3) Aspek keterampilan reaktif dievaluasi secara langsung dengan mengamati sistem masyarakat dalam tindakannya di luar sekolah, secara tak langsung melalui analisis mengenai posisi yang diambil oleh seseorang pada waktu mengikuti debat dan masalah-masalah kunci serta argumentasi yang digunakannya.

4) Aspek keterampilan interaktif dievaluasi dengan observasi ke terampilan-keterampilan interaktif yang kompleks dalam kondisi sosial yang nyata atau yang disimulasikan, dilanjutkan dengan pertemuan untuk mernpelajari unsur perencanaan.

 

c. Jenis Tes yang Digunakan

Jenis-jenis tes yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

1) Tes persepsi

a) Keterampilan kognitif, misalnya keterampilan memahami, merumuskan, memecahkan masaiah, dan mengenali derajat kesulitan dalam suatu masalah.

b) Keterampilan psikomotor, misalnya- keterampilan mengarnati rambu-rambu eksternal, mendiskriminasikan informasi yang relevan dari yang tak relevan.

c) Keterampilan reaktif, misalnya memperhatikan dan berminat terhadap suatu peristiwa luar, sensitif terhadap kejadian-kejadian.

d) Keterampilan interaktif, misalnya memperhatikan reaksi orang lain dan sensitif terhadap perasaan mereka.

2) Tes prasyarat yang meliputi semua kategori keterampilan, pengetahuan syarat seperti prosedur dan prinsip.

3) Tes strategi terhadap keterampilan groduktif, misalnya mampu mengkaji masalah-masalah yang relevan, menyimpulkan strategi pemecahan dan menilainya kembali dengan cara berpikir kritis (open ended verbal test).

4) Tes tindakan untuk mengetes:

a) keterampilan kognitif, misalnya melakukan tugas kognitif yang memenuhi ukuran ketepatan, kecepatan, dan produktif.

b) keterampilan psikomotor, melakukan secara terus-menerus sesuai dengan ukuran produktivitas, ketepatan, dan standar kualitas.

c) keterampilan reaktif, misalnya aktif merespons dengan cara bermakna pada semua kesempatan.

d) Keterampilan interaktif, misalnya berinteraksi secara efektif dan sering terhadap orang lain dengan cara yang diharapkan,

5) Observasi, yaitu mengamati semua keterampilan yang telah dirumuskan secara khusus.

 

3. Penilaian Sikap

Menurut Thurstone, dalam garis besarnya, "Sikap merupakan tingkat afeksi yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan objek psikologis. Objek psikologis sendiri mempunyai arti simbol, kalimat, slogan, orang, institusi, serta ide yang ditujukan agar orang dapat membedakan pengaruh yang positif dan negatif." Rumusan ini menunjukkan bahwa positif dapat diartikan senang sedangkan negatif berarti tidak senang atau menolak. Untuk mengetahui sikap demikian itu kita dapat melakukan observasi dengan menggunakan alat nilai tertentu.

Semua metode observasi adalah inferensial yang beraneka ragam tingkat objektivitasnya. Metode observasi yang objektif mengandung aturan-aturan tentang penugasan tentang cara menilai suatu objek dengan menggunakan urutan angka atau nilai yang sama sehingga variansinya berada pada tingkat minimum.

Skala adalah alat ukur yang menyediakan tugas tentang simbol aturan tertentu. Suatu tugas menunjuk kepada penguasaan individu tentang nomor-nomor yang saling berhubungan mengenai hal yang hendak diukur oleh skala tersebut.

 

a. Jenis Skala Sikap

Ada dua jenis skala sikap, yaitu skala Likert atau summated rating scales dan skala Thurstone atau equal-appearing interval scales.

1) Skala Likert. Skala ini memuat item yang diperkirakan sama dalam sikap atau beban nilainya. Subjek merespons dengan berbagai tingkat intensitas berdasarkan rentang skala antara dua sudut yang berlawanan (ekstrem), misalnya:

· setuju-tidak setuju

· suka-tidak suka

· menerima-menolak

2) Skala Thurstone. Model skala ini tidak hanya menempatkan mdradu dalam rangkaian persetujuan yang mengacu kepada sikap tertentu, tetapi tiap item mengandung nilai skala yang berbeda-beda, yang masing-masing punya kekuatan untuk mendapat persetujuan dari responden. Penyusunan skala model ini lebih sulit dibandingkan dengan skala Likert.

b. Prosedur Penyusunan Item untuk Skala Sikap

Pada garis besarnya, dalam menyusun item untuk skala perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1) Tentukan objek atau gejala apa.

2) Rumuskan perilaku yang mengacu sikap terhadap objek atau gejala tersebut.

3) Rumuskan karakteristik perilaku sikap itu.

4)Rincilah lebih lanjut tiap karakteristik menjadi sejumlah atribut yang lebih spesifik.

5) Tentukan indikator penilaian terhadap setiap atribut.

6) Susunlah perangkat item sesuai dengan indikator yang telah dirumuskan.

7) Suatu skala terdiri atas 20 sampai 30 items. Susunlah items ter sebut yang separonya dalam bentuk pernyataan positif dan separonya lagi dalam bentuk pernyataan negatif.

8) Tentukan banyak skala lima, tujuh, atau sebelas alternatif (dalam urutan yang ekstrem).

9) Tentukan bobot nilai bagi tiap skala, misalnya 4, 3, 2, 1, 0 untuk lima nilai skala sebagai dasar perhitungan kuantitatif.[5]

 

Ada kesalahan yang sering terjadi di kalangan pengguna evaluasi, yaitu adanya anggapan yang menyatakan suatu tipe evaluasi lebih baik dari tipe evaluasi lainnya dalam mengukur ranah kognitif tertentu. Berbagai penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti dalam mengukur level ranah konitif yang sama. Soal esai yang baik dapat mengukur ranah kognitif seperti yang dapat diukur oleh soal objektif yang baik, atau sebaliknya, dan menghasilkan rangking subyek yang tidak berbeda. Pemilihan tipe evaluasi yang akan digunakan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan.[6]

Maskipun demikian tetap diakui bahwa ada kelemahan dan kelebihan dari masing-masing jenis tes yang digunakan seperti pada tabel-tabel berikut:

 

Keunggulan dan Kelemahan Tipe Soal Objektif (Pilihan Ganda)

 

Keunggulan

Kelemahan

1. Komprehensif, karena dalam waktu singkat dapat memuat lebih banyak soal.

2. Pemeriksaan jawaban dan pemberian nilai relatif mudah dan cepat.

3. Efisien.

4. Kualitas soal dapat dianalisis secara empirik.

5. Obyektif.

6. Umumnya memiliki reliabilitas yang memuaskan

1. Pembuatan soal memakan banyak waktu dan tenaga.

2. Sulit untuk mengungkap tingkat kompetensi tinggi.

3. Ada kemungkinan jawaban benar semata-mata karena tebakan

 

Keunggulan dan Kelemahan Tipe Soal Tipe Esai (Karangan)

 

Keunggulan

Kelemahan

1. Relatif lebih mudah dibuat.

2. Lebih mudah digunakan untuk mengungkap tingkat kompetensi tinggi

3. Sangat baik untuk mengungkap kemampuan yang bertalian dengan ekspresi verbal-tulis

1. Tidak dapat memuat banyak soal sehingga kurang komprehensif

2. Pemeriksaan jawaban menyita banyak waktu dan tenaga.

3. Harus diperiksa sendiri oleh penulis soal atau oleh orang lain yang ahli.

4. Sebyektivitas pemeriksaan sulit dihindari.

5. Pertimbangan pemberian nilai lebih kompleks.

6. Umumnya memiliki reliabiltas kurang memuaskan.

 

Keunggulan dan Kelemahan Tipe Benar-Salah

 

Keunggulan

Kelemahan

1. Komprehensif, karena dalam waktu singkat dapat memuat lebih banyak soal.

2. Pemeriksaan jawaban dan pemberian nilai mudah dan cepat.

3. Efisien dan hemat bahan.

4. Kualitas soal dapat dianalisis secara impirik.

5. Obyektif.

6. Mudah dibuat

1. Hanya dapat mengungkap tingkat kompetensi rendah.

2. Ada kemungkinan jawaban benar semata-mata karena tebakan

 

E. Jumlah Butir Soal

Penentuan jumlah butir soal sangat tergantung dengan materi yang akan diujikan. Yang pasti jumlah butir soal harus berhubungan langsung dengan reliabilitas evaluasi dan respresentasi isi bidang studi yang dievaluasi. Makin banayk butir soal yang digunakan dalam suatu evaluasi maka kemungkinan akan makin tinggi reliabilitasnya, baik dalam arti stabilitas maupun internal konsistensinya. Dilihat dari segi jumlah inilah maka evaluasi objektif mempunyai kekuatan yang lebih dari evaluasi esai. Karena tugas yang harus diselesaikan dalam evaluasi objektif itu sangat singkat maka kemungkinan untuk menggunakan jumlah butir soal yang besar menjadi lebih besar pula. Sedangkan evaluasi esai tidak memungkinkan menggunakan jumlah soal yang banyak. Dengan demikian representasi bidang studi dan reliabilitas evaluasi objektif akan lebih baik dari evaluasi esai. Penentuan jumlah soal perlu mempertimbangkan waktu yang tersedia, biaya yang ada, kompleksitas tugas yang dituntut oleh tes, dan waktu untuk ujian.

Perencanaan jumlah butir soal dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1.  Jumlah keseluruhan.

2.  Jumlah untuk setiap pokok bahasan/topik

3.  Jumlah untuk setiap format.

4.  Jumlah untuk setiap kategori tingkat kesukaran.

5.  Jumlah untuk setiap aspek pada ranah kognitif.

 

F. Konstruksi Butir Soal

Pada pengembangan butir soal untuk keperluan penilaian acuan norma, tingkat kesukaran soal harus diperhatikan. Butir soal yang dikembangkan tidak seluruhnya mudah dan tidak seluruhnya harus sukar, tetapi kombinasi dari butir soal yang mudah, sedang, dan sukar sehingga keseluruhan butir soal tersebut tingkat kesukarannya disekitar 50%. Pada pengembangan butir soal untuk acuan kriteria tingkat kesukarannya tidak diperhatikan karena maksud soal ini bukan membedakan mahasiswa pintar dari mahasiswa kurang pintar, tetapi melihat tingkat penguasaan seseorang terhadap bahan atau tujuan instruksional. Juga daya pembeda tidak diperhatikan dalam penilaian acuan kriteria, justru yang menjadi perhatian adalah daya serap mahasiswa. Sebaiknya semua bahan atau tujuan instrusional dapat dikuasai oleh mahasiswa (tingkat penguasaan 100%). Penguasaan 100% bahan sukar dicapai sehingga ada dosen atau institusi yang merasa cukup dengan tingkat penguasaan 75% sampai atau 80%.

Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan konstruksi soal :

1.      Pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas.

2.      Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja.

3.      Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.

4.      Pokok soal jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda.

5.      Pilihan jawaban harus homogen dan logis ditinjau dari segi materi.

6.      Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama.

7.      Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan “Semua pilihan jawaban di atas salah” atau “Semua pilihan jawaban di atas benar”.

8.      Pilihan jawaban yang berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka atau kronologis waktunya.

9.      Gambar, grafik, tabel, diagram, wacana, dan sejenisnya yang terdapat pada soal harus jelas dan berfungsi.

10.  Rumusan pokok soal tidak menggunakan ungkapan atau kata yang bermakna tidak pasti seperti : sebaiknya, umumnya, kadang – kadang.

11.  Butir soal jangan bergantung pada jawaban soal sebelumnya. [7]

 

G. Distribusi Tingkat Kesukaran

Pada umumnya semua ahli konstruksi evaluasi sependapat bahwa evaluasi yang terbaik adalah evaluasi yang mempunyai tingkat kesukaran disekitar 0,50. Makin dekat ke titik tersebut, evaluasi makin mampu membedakan antara kelompok yang baik dan kelompok yang kurang belajar. Tetapi tentu saja itu bukanlah satu-satunya pertimbangan untuk menentukan distribusi tingkat kesukaran. Penentuan distribusi ini juga ditentukan oleh tujuan evaluasi. Misalnya, bila evaluasi dimasudkan untuk seleksi, maka evaluasi harus lebih mengarah kepada yang mempunyai tingkat kesukaran yang lebih tinggi. Tetapi yang harus diingat ialah evaluasi yang terlalu sukar atau terlalu mudah tidak akan memberi informasi yang banyak.

Dalam hubungan dengan distribusi tingkat kesukaran ini juga harus diperhatikan bahwa evaluasi yang mempunyai tingkat kesukaran yang rendah sebaliknya diletakkan di awal evaluasi dan yang tinggi pada akhir perangkat evaluasi. Ketentuan ini tidaklah menunjukkan perbedaan yang berarti pada “power evaluasi”. Perbedaan itu lebih bersifat memberi motif untuk lebih terdorong mengerjakan seluruh butir soal.

 

H. Kisi-kisi evaluasi

Kisi-kisi atau biasa juga sebagai tabel spesifikasi evaluasi umumnya ditampilkan dalam bentuk matriks yang menunjukkan proporsi dan jumlah angka mutlak dari setiap aspek butir soal yang membentuk suatu perangkat evaluasi. Dalam kisi-kisi setidaknya harus dengan mudah terbaca: (1) Pokok/ Sub-pokok bahan yang diuji, (2) Kemampuan yang diuji (tingkat ranah kognitif), (3) Tingkat kesukaran butir soal, dengan asumsi pertimbangan ada pada penulis soal.

Kisi-kisi yang sudah terisi menggambarkan proporsi jumlah butir soal untuk setiap pokok/sub pokok bahasan dan setiap tingkat kemampuan pada ranah kognitif.

Format kisi-kisi yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat evaluasi yang hanya terdiri dari evaluasi pilihan ganda adalah seperti tercantum pada kisi-kisi Evaluasi Objektif

 

KISI-KISI PENULISAN SOAL

Mata Pelajaran : ……………………………………………

Kelas : …………………………………………….

NO

KD

MATERI

INDIKATOR

NO SOAL

BENTUK SOAL









I. Penyusunan Soal Tes

Setelah kisi-kisi disusun tahap berikutnya adalah penulisan soal. Berbagai hal yang perlu diperhatikan pada saat penulisan soal tes antara lain:

1. Butir tes dimulai dari pokok bahasan awal ke akhir.

2. Tingkat kesukaran dari mudah ke sukar.

3. Butir tes dikelompokkan dalam tipe sama.

4. Tuliskan petunjuk pengerjaan tes secara jelas, sehingga tidak perlu ada pertanyaan lagi tentang cara mengerjakan tes tersebut.

5. Petunjuk tes sangat besar peranannya terhadap keberhasilan peserta tes.

6. Penyusunan soal butir tes hendaknya diatur sehingga tidak menimbulkan kesan berdesak-desakan, sehingga mudah dibaca.

7. Saat penggandaan soal tes, hindarilah meletakan kunci jawaban dalam suatu pola tertentu.

  

J. Mengevaluasi Tes dan Item Tes

Arah dan uji test item untuk tes objektif harus diujicobakan terlebih dulu sebelum digunakan untuk evaluasi formatif. Agar tidak terjadi kesalahan pada instrumen tes, perancang harus memastikan hal-hal berikut:

1. arah tes jelas, sederhana, dan mudah diikuti;

2. masing-masing item tes jelas dan menyampaikan kepada peserta didik yang dimaksud dipembentukan atau stimulus;

3. kondisi-kondisi dimana dibuat tanggapan yang realistis;

4. metode respon jelas bagi peserta didik; dan

5. ruang yang tepat, waktu, dan peralatan yang tersedia.

 

 

Tes item yang tidak terjawab oleh sebagian besar pelajar harus dianalisis, direvisi, atau bahkan diganti sebelum tes diberikan lagi. Ketika membangun item tes, dan tes pada umumnya, perancang harus diingat bahwa tes mengukur kecukupan: (l) pengujian itu sendiri; (2) bentuk tanggapan; (3) bahan-bahan pengajaran; (4) lingkungan pengajaran dan situasi, dan (5) pencapaian pelajar.

 

K. Kesimpulan

Tes acuan patokan merupakan pendekatan penilaian yang membandingkan prestasi siswa dengan kriteria yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian tes acuan patokan bukan untuk membandingkan prestasi siswa dengan dengan prestasi dalam kelompoknya.



DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Degeng, I. Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable, Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1989.

Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2009.

Sanjaya, Wina, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

 

File :

Aryani, Asih, Kaidah penulisan Soal, disampaikan dalam diklat Pemberdayaan MI di MAN Indramayu : 14/6/2011

­­­­_____, Asih, Taksonomi Bloom Revisi, disampaikan dalam diklat Pemberdayaan MI di MAN Indramayu : 14/6/2011.

 

Internet:

http://alfarizisalman.blogspot.com/2011/01/acuan-penilaian-dalam-pembelajaran.html

http://icheelrahma.blogspot.com/2010/10/penilaian-acuan-normatif-dan-acuan.html

http://ppp.ugm.ac.id/wp-content/uploads/evaluasihpm.pdf

http://blog.tp.ac.id/tag/contoh-bentuk-tes-acuan-patokan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3615/1/farmasi-fathur.pdf

http://http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/196807291998021-SURYADI/PENDEKATAN_DALAM_PENILAIAN.pdf

http://http://blogwirabuana.wordpress.com/2011/03/16/penilaian-acuan-norma-pan-dan-penilaian-acuan-patokan-pap/

http://icheelrahma.blogspot.com/2010/10/penilaian-acuan-normatif-dan-acuan.html

http://hendrath-jmr.blogspot.com/2010/05/tes-acuan-patokan.html

 [1] Sanjaya, Wina, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008:235

[2] http://icheelrahma.blogspot.com/2010/10/penilaian-acuan-normatif-dan-acuan.html/down load: 30/11/2011/18:21

[3] Sanjaya, Wina, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008:236.

[4] Aryani, Asih, Taksonomi Bloom Revisi, disampaikan dalam diklat Pemberdayaan MI di MAN Indramayu : 14/6/2011

[5] Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2009:209 dst. Lihat : Degeng, I. Nyoman Sudana, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable, Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1989:176 dst. 

[6] http://ppp.ugm.ac.id/wp-content/uploads/evaluasihpm.pdf/ download: 30/11/2011/19:59

[7] Aryani, Asih, Kaidah penulisan Soal, disampaikan dalam diklat Pemberdayaan MI di MAN Indramayu : 14/6/2011