Jumat, 27 Juni 2025

FRAGMENTASI DUNIA ISLAM DAN KEGAGALAN MEMBANGUN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSAL

Pendahuluan

Pendidikan Islam sejak masa Rasulullah SAW hingga era kejayaan peradaban Islam dikenal sebagai sistem yang integral, menyatukan antara ilmu, amal, dan akhlak. Namun, dalam konteks modern, umat Islam menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem pendidikan berbasis epistemologi Islam yang mapan dan universal. Salah satu faktor penyebab utama adalah fragmentasi dunia Islam, baik dari segi politik, intelektual, maupun kultural. Fragmentasi ini telah menghambat lahirnya sebuah framework epistemologis pendidikan Islam yang diakui secara kolektif oleh dunia Muslim.

 

1. Makna Fragmentasi Dunia Islam

Fragmentasi dunia Islam merujuk pada kondisi terpecahnya umat Islam dalam berbagai aspek:

Politik: Hilangnya kepemimpinan tunggal Islam sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924) memunculkan lebih dari 50 negara Muslim yang berjalan dengan kebijakan pendidikan masing-masing.

Mazhab dan pemikiran: Perbedaan pendekatan fiqih dan kalam berkembang menjadi polarisasi intelektual yang kurang terjembatani.

Bahasa dan budaya: Bahasa Arab sebagai bahasa ilmu mulai tergeser, digantikan oleh bahasa nasional dan lokal tanpa basis epistemik bersama.

Institusi pendidikan: Tidak ada koordinasi atau standardisasi epistemologi antar universitas Islam lintas negara.

 

2. Dampak Fragmentasi terhadap Epistemologi Pendidikan

Fragmentasi dunia Islam melahirkan beberapa persoalan:

Absennya otoritas epistemologis bersama: Tidak ada lembaga seperti "Majelis Epistemologi Islam Internasional" yang menyusun teori pendidikan Islam secara sistemik.

Ilmuwan dan lembaga berjalan sendiri-sendiri: Upaya dari tokoh seperti Al-Attas (Malaysia), Al-Faruqi (AS), Langgulung (Indonesia), Al-Ghazali (Turki) tidak terintegrasi dalam satu proyek kolektif.

Ketergantungan pada teori Barat: Akibat tiadanya teori besar pendidikan Islam yang sistematis, banyak sarjana Muslim menggunakan teori Barat (Bloom, Piaget, Vygotsky) dalam kurikulum Islam.

Kurikulum dan teori pendidikan Islam bersifat lokal dan sektoral: Tidak ada kurikulum tunggal atau teori universal yang dapat dijadikan rujukan oleh semua lembaga pendidikan Islam.

 

3. Realitas Sistem Pendidikan Negara Muslim

Tiap negara Muslim mengembangkan sistem pendidikan secara terpisah:

Mesir: Tradisional di Al-Azhar dan sekuler di universitas nasional.

Indonesia: Dualistik antara sekolah umum dan madrasah.

Malaysia: Upaya integrasi lewat IIUM dan ISTAC, tapi belum direplikasi.

Pakistan, Turki, Tunisia: Cenderung sekuler atau terfragmentasi antara madrasah dan sekolah modern.

 

4. Akibat Langsung:

Gagalnya Penyusunan Framework Pendidikan Islam Universal

Tanpa kerangka epistemologi yang disepakati, konsekuensinya:

Ilmu Islam tidak berkembang sebagai sistem ilmu modern.

Pendidikan Islam hanya menyisipkan nilai moral atau ayat al-Qur’an dalam sistem Barat.

Tidak ada standar kompetensi Islami yang diakui lintas negara.

Dunia Islam kehilangan kesempatan untuk menandingi dominasi epistemologi Barat.

 

5. Solusi Strategis: Membangun Kembali Otoritas Epistemologi Islam

Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan:

Ø  Forum Epistemologi Islam Internasional: Lintas negara dan mazhab, fokus pada penyusunan teori pendidikan Islam.

Ø  Pusat teori pendidikan Islam global: Seperti ISTAC yang diperluas dan diadopsi OIC.

Ø  Kurikulum Islam universal: Integratif antara ilmu naqli dan aqli, dengan kerangka tauhid dan adab.

Ø  Jurnal ilmiah Islam internasional: Berstandar tinggi dan konsisten dengan epistemologi wahyu.

Ø  Pendidikan dosen dan guru Islam: Dilatih dalam filsafat ilmu Islam agar tidak hanya mengimpor teori barat.

 

Penutup

Fragmentasi dunia Islam telah menjadi hambatan besar dalam membangun epistemologi pendidikan Islam yang universal. Tanpa kesatuan visi, umat Islam akan terus menjadi konsumen teori Barat, bukan produsen ilmu yang beradab. Kebangkitan ilmu Islam hanya mungkin jika kita mampu menyatukan potensi intelektual dan institusional lintas dunia Muslim dalam satu proyek besar: membangun sistem ilmu berbasis tauhid, akhlak, dan wahyu sebagai dasar pendidikan masa depan.

 

Referensi:

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon: IIIT.

Langgulung, H. (1986). Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Wan Daud, W. M. N. (2011). Falsafah dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Rahman, F. (1984). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar