Manajemen Dilevery
Method (MDM)
MOH. ZAEN FUADI
NIM 5051030010/ 141
063 100 10
IAIN Syekh Nurjati
Cirebon / PAI/III
Salah satu hal
penting dalam proses pendidikan adalah pengembangan desain instruksional.
Perkembangan teknologi dan budaya masyarakat menjadi alasan mendasar mengapa
pengembangan desain instruksional perlu mendapat perhatian serius. Kaitannya
dengan pendidikan agama tentu sangat urgens. Harus diakui bahwa pendidikan
agama memiliki kompleksitas yang sangat rumit jika dilihat dari perspektif
evaluasi pendidikan. Di samping sangat sulit untuk diidentifikasikan juga tidak
mudah untuk membuat sisem penilaian yang tepat.
Namun demikian
upaya pengembangan desain intstruksional khususnya pendidikan agama tentu bukan
hal sia-sia untuk dilakukan. Tetapi justru sebuah keharusan dalam rangka
menciptakan sebuah system instruksional yang semakin memungkinkan terwujudkan
pendidikan agama sesuai tujuan yang dicita-citakan yaitu menciptakan manusia
Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
Dalam tulisan ini
akan dibahas sedikit tentang beberapa hal berkaitan dengan pengembanan desain
instruksional yaitu konsep, prinsip, dan prosedur perancangan instruksional, model
desain instruksional.
A. Konsep, prinsip, dan prosedur pengembangan
instruksional
Pengembangan
instruksional adalah teknik pengelolaan dalam mencari pemecahan masalah-masalah
instruksional atau setidak-tidaknya dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber
belajar yang ada untuk memperbaiki pendidikan. Dalam perspektif Twelker dalam
Mudhoffir, 1986 : 33, yang dimaksud dengan pengembangan instruksional adalah
cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi
seperangkat materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Pengembangan
instruksional merupakan keseluruhan kegiatan berkesinambungan yang meliputi
perencanaan, pengembangan dan evaluasi terhadap sistem instruksional yang
sedang dikembangkan tersebut sehingga mendapatkan sebuah desain instruksional
yang efektif dan efisien.
B. Prinsip Pengembangan Sistem Instruksional
Pengembangan sistem
instruksional meliputi proses "monitoring" interaksi siswa dengan
situasi dan pengalaman belajar, agar para penyusun desain instruksional dapat
menilai efektifitas suatu desain. Pengembangan sistem instruksional senantiasa
didasarkan atas pengalaman empiris, dan prinsip-prinsip yang telah teruji
kebenarannya, dalam arti telah ditentukan berdasar prosedur yang sistematis,
pengamatan yang tepat, dan percobaan yang terkontrol. Hal ini berbeda dengan
metode atau cara mengajar yang diperoleh secara tradisional dan dikembangkan
melalui pengalaman semata-mata.
Apakah yang
dikerjakan oleh para pengembang sistem dan desain instruksional? Kegiatan pokok
bagi para pengembang sistem dan desain instruksional meliputi:
1. Menentukan hasil belajar dalam arti
prestasi siswa yang bisa diamati dan diukur (learning outcomes).
2.
Identifikasi karakteristik siswa
yang akan belajar.
3.
Berdasar 1 dan 2 tersebut, memilih
dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bagi para siswa.
4.
Menentukan media untuk kegiatan
tersebut.
5. Menentukan situasi dan kondisi,
dalam mana responsi siswa akan diamati dan dipandang sebagai salah satu contoh
dari tingkah laku yang diharapkan.
6.
Menentukan kriteria, seberapa
prestasi siswa telah dianggap cukup.
7.
Memilih metode yang tepat untuk
menilai kemampuan siswa untuk mendemonstrasikan tingkah laku seperti tersebut
pada angka 1.
8.
Menentukan metode untuk memonitor
responsi siswa- sewaktu
9.
Berada dalam proses pengajaran dan
sewaktu dievaluasi.
10.
Mengadakan perbaikan yang diperlukan
dalam kegiatan belajar mengajar bila ternyata responsi siswa tidak sesuai
dengan hasil yang telah ditentukan.
C. Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
Prosedur atau
proses yang ditempuh oleh para pengembang sistem instruksional bisa meliputi
dua cara:
1.
Pendekatan empiris
Proses ini dilaksanakan tanpa menggunakan
dasar-dasar teori secara sistematis. Di sini paket atau bahan pengajaran
disusun berdasar pengalaman si pengembang, siswa disuruh mempelajari lalu
hasilnya diamati. Bila hasilnya tak sesuai dengan apa yang diharapkan, materi
pengajaran tersebut direvisi dan pekerjaan penyusunan paket (materi) pengajaran
diulang.
Adapun pendekatan semacam ini mempunyai
beberapa kelemahan di antaranya :
a.
Setiap pengembang harus mulai dari
awal untuk mencari atau menemukan semua langkah dan dasar yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu materi pengajaran.
b. Berulang kalinya pembuatan materi
(paket) pengajaran baru. Hal ini berarti menghendaki berulang kali uji coba,
dan ini berarti kurang efisien.
2.
Dengan mengikuti atau membuat suatu
model (paradigm approach).
Menurut pendekatan ini, hasil belajar yang
diharapkan, bisa diklasifikasikan sesuai dengan tipe-tipe tertentu. Untuk,
tiap tipe tujuan khusus (objective) dapat dipilihkan cara-cara tertentu
untuk mencapainya, kondisi tertentu untuk mengamati responsi siswa bisa diciptakan,
dan perubahan-perubahan bilamana perlu bisa diadakan. Di dalam penyusunan desain
instruksional, diadakan langkah-langkah secara sistematis, sehingga uji coba
secara empiris terhadap suatu program dapat mendorong untuk adanya informasi
mengenai efektifitas suatu program, yang sekaligus bisa untuk menguji model
tersebut.
D. Model Desain Instruksional
Model adalah
seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti
penilaian suatu kebutuhan, pemilihan media, dan evaluasi". (Briggs, 1978,
p. 23). Sedangkan istilah pengembangan sistem instruksional (instructional
systems development) dan desain instruksional (instructional design)
sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam
penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara "desain"
dan "pengembangan". Kata "desain" berarti "membuat
sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan". Sedang
"mengembangkan" berarti "membuat tumbuh secara teratur untuk
menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan
sebagainya." Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya
adalah sebagai berikut:
1.
Sistem instruksional adalah semua
materi pelajarari dan metode yang telah diuji dalam praktek yang dipersiapkan
untuk mencapai tujuan dalam keadaan senyatanya (Baker; 1971, p: 16).
2.
Pengembangan sistem istruksional
adalah suatu proses sedara sistematis dan logis untuk mempelajari
problem-problem pengajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji validitasnya,
dan praktis bisa dilaksanakan (Ely, 1979, p.4).
3.
Desain instruksional adalah
keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan
teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah pengem-bangan paket pelajaran, kegiatan mengajar,
uji coba, revisi, dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar (Briggs, 1979, p.
20).
4.
Desain sistem instruksional ialah
pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat
untuk mencapai kebutuhan dan tujuan instruksional. Semua komponen sistem ini
(tujuan, materi, media, alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama lain
dipandang sebagai kesatuan yang teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut
terlebih dulu diuji coba efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya
(Briggs, 1979, p. XXI).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka dapat diambil sebuah simpulan bahwa yang
dimaksud dengan model pengembangan desain instruksional adalah seperangkat
prosedur yang berurutan untuk melaksanakan pengembangan desain instruksional.
Dalam pengelolaan
pelatihan, pembelajaran dan pengembangan, salah satu bagian penting yang dapat
membantu instruktur pelatihan maupun training specialist dalam pengelolaan
pelatihan dan pembelajaran adalah dengan adanya desain Model Sistem
Instruksional atau ISD (Instructional System Design) . Adanya model ini akan
menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan
yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri.
Di antara model
yang paling sering digunakan adalah ADDIE model dan ASSURE model.
Model ADDIE menggunakan
5 tahap atau langkah pengembangan yakni :
1. Analysis (analisa)
2. Design (desain /
perancangan)
3. Development (pengembangan)
4. Implementation (implementasi/eksekusi)
5. Evaluation
(evaluasi/ umpan balik)
Kebanyakan model
instruksional merupakan turunan atau variasi dari ADDIE model, seperti Dick
& Carey dan Kemp Model. Meskipun demikian, model ADDIE paling sering
digunakan, dan dengan menggunakan 5 langkah proses diatas, sudah mencakup
keseluruhan proses pengembangan pelatihan. Yakni mulai dari pertanyaan ” Apa
yang harus perlu dan butuh dipelajari” sampai dengan pertanyaan ” apakah mereka
sudah mendapat dari apa yang mereka butuhkan” .
Dengan adanya model
instruksional berdasarkan ADDIE ini, jelas sangat membantu pengembangan
material dan program pelatihan yang tepat sasaran, efektif, maupun dinamis.
Aplikasi teori SDM maupun perilaku seperti social learning, pembelajaran aktif
(active learning), pembelajaran jarak jauh (distance learning),
paham konstruktif (constructivism), aliran strength based (positive-based
management), aliran perilaku manusia (behaviourism), maupun paham kognitif (cognitivism)
akan sangat membantu pengembangan material pelatihan bagi instruktur maupun
training specialist.
Model ASSURE
menggunakan enam tahapan yaitu:
1.
Analyze Learners
Menganalisa siswa adalah salah satu faktor yang wajib dilakukan sebelum melaksanakan pembelajaran. Ada 3 hal yang semestinya diperhatikan dalam menganalisa
siswa :
a. Karakteristik Umum
Yang termasuk
dalam karakteristik umum adalah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan,
kebudayaan, dan faktor sosial ekonomi. Karakteristik umum ini dapat digunakan
untuk menuntun kita dalam memilih metode dan media untuk pembelajaran.
b. Spesifikasi Kemampuan Awal
Berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki siswa sebelumnya. Informasi
ini dapat kita temukan bila dilakukan entering behavior dengan pretest
atau semacamnya. Hasil dari entry test ini dapat dijadikan acuan tentang
hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu lagi disampaikan kepada siswa.
c. Gaya Belajar
Gaya belajar berasal
atau timbul dari adanya kenyamanan yang kita rasakan (secara psikologis dan emosional)
saat kita menerima dan berinteraksi dengan lingkungan belajar, karena itu
muncul modalitas dalam belajar (visual, audiotorial, dan kinestetik).
2.
State Objectives
Perumusan tujuan ini berkaitan dengan apa yang ingin dicapai. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam perumusannya adalah :
a. Tetapkan
ABCD
A (audiens – instruksi yang kita
ajukan harus fokus kepada apa yang harus dilakukan pembelajar bukan pada apa
yang harus dilakukan pengajar), B (behavior – kata kerja yang
mendeskripsikan kemampuan baru yang harus dimiliki pembelajar setelah melalui
proses pembelajaran dan harus dapat diukur), C (conditions – kondisi
pada saat performans sedang diukur), D (degree – kriteria yang menjadi
dasar pengukuran tingkat keberhasilan pembelajar).
b. Mengklasifikasikan Tujuan
Maksud dari
mengklasifikasikan tujuan disini adalah untuk menentukan pembelajaran yang akan
kita laksanakan lebih cenderung ke domain mana ? kognitif, afektif, psikomotor, atau
interpersonal.
c. Perbedaan Individu
Berkaitan dengan kemampuan individu dalam menuntaskan atau memahami sebuah materi
yang diberikan. Individu yang tidak memiliki kesulitan belajar dengan yang memiliki
kesulitan belajar pasti memiliki waktu ketuntasan terhadap materi yang berbeda.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka timbullah mastery learning (kecepatan
dalam menuntaskan materi tergantung dengan kemampuan yang dimiliki tiap
individu)
3.
Select Methods, Media, and Material
Pemilihan metode
intruksional sangat ditentukan dengan sistausi dan kondisi siswa dan lingkungan
pendidikan. Dalam hal ini tidak ada satu metode yang lebih dari metode yang
lain dan tidak ada satu metode yang dapat menyenangkan/ menjawab
kebutuhan siswa secara seimbang dan menyeluruh.
Pemilihan media
yang yang tepat tentu sangat penting dalam proses pembelajaran. Hal ini
disebabkan karena media yang tidak tepat akan berakibat serius pada proses
pembelajaran.
Materi/bahan yang
kita gunakan dalam proses pembelajaran, bisa yang sudah siap pakai, hasil
modifikasi kita, atau hasil desain baru. Bagaimanapun
caranya kita mengumpulkan materi, pada intinya adalah materi tersebut harus
sesuai dengan tujuan dan karakteristik si pembelajar.
4.
Utilize Media and Materials
Sebelum kita
memanfaatkan media dan bahan yang ada, alangkah bijaksananya jika kita
melaksanakan “ritual” seperti :
a. mengecek
bahan (masih layak pakai atau tidak)
b. mempersiapkan
bahan
c. mempersiapkan
lingkungan belajar
d. mempersiapkan
pembelajar
e. menyediakan pengalaman belajar
(terpusat pada pengajar atau pembelajar).
5.
Require Learner Participation
Dalam mengaktifkan
pembelajar di dalam proses pembelajaran alangkah baiknya kalau ada sentuhan
psikologisnya. Berikut adalah gambaran dari adanya sentuhan psikologis dalam
proses pembelajaran :
a. behavioris,
karena tanggapan/respon yang sesuai dari pengajar dapat menguatkan stimulus
yang ditampakkan pembelajar.
b. kognitifis,
karena informasi yang diterima pembelajar dapat memperkaya skema mentalnya.
c. konstruktivis,
karena pengetahuan yang diterima pembelajar akan lebih berarti dan bertahan
lama di kepala jika mereka mengalami langsung setiap aktivitas dalam proses
pembelajaran.
d. sosial,
karena feedback atau tanggapan yang diberikan pengajar atau teman dalam proses
pembelajaran dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengoreksi segala informasi
yang telah diterima dan juga sebagai support secara emosional.
6.
Evaluate and Review
Evaluasi dan me-review adalah hal yang lazim dilakukan untuk melihat seberapa jauh
media dan teknologi yang digunakan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar