Kamis, 03 November 2011

PENGEMBANGAN DESAIN INSTRUKSIONAL

Manajemen Dilevery Method (MDM)
MOH. ZAEN FUADI
NIM 5051030010/ 141 063 100 10
IAIN Syekh Nurjati Cirebon / PAI/III

Salah satu hal penting dalam proses pendidikan adalah pengembangan desain instruksional. Perkembangan teknologi dan budaya masyarakat menjadi alasan mendasar mengapa pengembangan desain instruksional perlu mendapat perhatian serius. Kaitannya dengan pendidikan agama tentu sangat urgens. Harus diakui bahwa pendidikan agama memiliki kompleksitas yang sangat rumit jika dilihat dari perspektif evaluasi pendidikan. Di samping sangat sulit untuk diidentifikasikan juga tidak mudah untuk membuat sisem penilaian yang tepat.
Namun demikian upaya pengembangan desain intstruksional khususnya pendidikan agama tentu bukan hal sia-sia untuk dilakukan. Tetapi justru sebuah keharusan dalam rangka menciptakan sebuah system instruksional yang semakin memungkinkan terwujudkan pendidikan agama sesuai tujuan yang dicita-citakan yaitu menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
Dalam tulisan ini akan dibahas sedikit tentang beberapa hal berkaitan dengan pengembanan desain instruksional yaitu konsep, prinsip, dan prosedur perancangan instruksional, model desain instruksional.
A.   Konsep, prinsip, dan prosedur pengembangan instruksional
Pengembangan instruksional adalah teknik pengelolaan dalam mencari pemecahan masalah-masalah instruksional atau setidak-tidaknya dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber belajar yang ada untuk memperbaiki pendidikan. Dalam perspektif Twelker dalam Mudhoffir, 1986 : 33, yang dimaksud dengan pengembangan instruksional adalah cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi seperangkat materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pengembangan instruksional merupakan keseluruhan kegiatan berkesinambungan yang meliputi perencanaan, pengembangan dan evaluasi terhadap sistem instruksional yang sedang dikembangkan tersebut sehingga mendapatkan sebuah desain instruksional yang efektif dan efisien.
B.   Prinsip Pengembangan Sistem Instruksional
Pengembangan sistem instruksional meliputi proses "monitoring" interaksi siswa dengan situasi dan pengalaman belajar, agar para penyusun desain instruksional dapat menilai efektifitas suatu desain. Pengembangan sistem instruksional senantiasa didasarkan atas pengalaman empiris, dan prinsip-prinsip yang telah teruji kebenarannya, dalam arti telah ditentukan berdasar prosedur yang sistematis, peng­amatan yang tepat, dan percobaan yang terkontrol. Hal ini berbeda dengan metode atau cara mengajar yang diperoleh se­cara tradisional dan dikembangkan melalui pengalaman semata-mata.
Apakah yang dikerjakan oleh para pengembang sistem dan desain instruksional? Kegiatan pokok bagi para pengembang sistem dan desain instruksional meliputi:
1.  Menentukan hasil belajar dalam arti prestasi siswa yang bisa diamati dan diukur (learning outcomes).
2.    Identifikasi karakteristik siswa yang akan belajar.
3.    Berdasar 1 dan 2 tersebut, memilih dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bagi para siswa.
4.    Menentukan media untuk kegiatan tersebut.
5.  Menentukan situasi dan kondisi, dalam mana responsi siswa akan diamati dan dipandang sebagai salah satu contoh dari tingkah laku yang diharapkan.
6.    Menentukan kriteria, seberapa prestasi siswa telah dianggap cukup.
7.    Memilih metode yang tepat untuk menilai kemampuan siswa untuk mendemonstrasikan tingkah laku seperti tersebut pada angka 1.
8.    Menentukan metode untuk memonitor responsi siswa- sewaktu­
9.    Berada dalam proses pengajaran dan sewaktu dievaluasi.
10. Mengadakan perbaikan yang diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar bila ternyata responsi siswa tidak sesuai dengan hasil yang telah ditentukan.
C.   Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
Prosedur atau proses yang ditempuh oleh para pengembang sistem instruksional bisa meliputi dua cara:
1.  Pendekatan empiris
Proses ini dilaksanakan tanpa menggunakan dasar-dasar teori secara sistematis. Di sini paket atau bahan pengajaran disusun berdasar pengalaman si pengembang, siswa disuruh mempelajari lalu hasilnya diamati. Bila hasilnya tak sesuai dengan apa yang diharapkan, materi pengajaran tersebut direvisi dan pekerjaan penyusunan paket (materi) penga­jaran diulang.
Adapun pendekatan semacam ini mempunyai beberapa kelemah­an di antaranya :
a.  Setiap pengembang harus mulai dari awal untuk mencari atau menemukan semua langkah dan dasar yang diperlukan untuk mengembangkan suatu materi pengajaran.  
b. Berulang kalinya pembuatan materi (paket) pengajaran baru. Hal ini berarti menghendaki berulang kali uji coba, dan ini berarti kurang efisien.
2.  Dengan mengikuti atau membuat suatu model (paradigm approach).
Menurut pendekatan ini, hasil belajar yang diharapkan, bisa diklasi­fikasikan sesuai dengan tipe-tipe tertentu. Untuk, tiap tipe tujuan khusus (objective) dapat dipilihkan cara-cara tertentu untuk menca­painya, kondisi tertentu untuk mengamati responsi siswa bisa dicip­takan, dan perubahan-perubahan bilamana perlu bisa diadakan. Di dalam penyusunan desain instruksional, diadakan langkah-langkah secara sistematis, sehingga uji coba secara empiris terhadap suatu program dapat mendorong untuk adanya informasi mengenai efektifitas suatu program, yang sekaligus bisa untuk menguji model tersebut.

D.  Model Desain Instruksional
Model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewu­judkan suatu proses, seperti penilaian suatu kebutuhan, pemilihan media, dan evaluasi". (Briggs, 1978, p. 23). Sedangkan istilah pengembangan sistem instruksional (instructional systems development) dan desain instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara "desain" dan "pengembangan". Kata "desain" berarti "membuat sketsa atau pola atau outline atau ren­cana pendahuluan". Sedang "mengembangkan" berarti "membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan sebagainya." Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
1.    Sistem instruksional adalah semua materi pelajarari dan metode yang telah diuji dalam praktek yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan senyatanya (Baker; 1971, p: 16).
2.    Pengembangan sistem istruksional adalah suatu proses sedara sistematis dan logis untuk mempelajari problem-problem pengajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji validitasnya, dan praktis bisa dilaksanakan (Ely, 1979, p.4).
3.    Desain instruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengem-bangan paket pelajaran, kegiatan menga­jar, uji coba, revisi, dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar (Briggs, 1979, p. 20).
4.    Desain sistem instruksional ialah pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan instruksional. Semua komponen sistem ini (tujuan, materi, media, alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama lain dipandang sebagai kesatuan yang teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut terlebih dulu diuji coba efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya (Briggs, 1979, p. XXI).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diambil sebuah simpulan bahwa yang dimaksud dengan model pengembangan desain instruksional adalah se­perangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan pengembangan desain instruksional.
Dalam pengelolaan pelatihan, pembelajaran dan pengembangan, salah satu bagian penting yang dapat membantu instruktur pelatihan maupun training specialist dalam pengelolaan pelatihan dan pembelajaran adalah dengan adanya desain Model Sistem Instruksional atau ISD (Instructional System Design) . Adanya model ini akan menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri. 
Di antara model yang paling sering digunakan adalah ADDIE model dan ASSURE model.
Model ADDIE menggunakan 5 tahap atau langkah pengembangan yakni :
1. Analysis (analisa)
2. Design (desain / perancangan)
3. Development (pengembangan)
4. Implementation (implementasi/eksekusi)
5. Evaluation (evaluasi/ umpan balik)
Kebanyakan model instruksional merupakan turunan atau variasi dari ADDIE model, seperti Dick & Carey dan Kemp Model. Meskipun demikian, model ADDIE paling sering digunakan, dan dengan menggunakan 5 langkah proses diatas, sudah mencakup keseluruhan proses pengembangan pelatihan. Yakni mulai dari pertanyaan ” Apa yang harus perlu dan butuh dipelajari” sampai dengan pertanyaan ” apakah mereka sudah mendapat dari apa yang mereka butuhkan” .
Dengan adanya model instruksional berdasarkan ADDIE ini, jelas sangat membantu pengembangan material dan program pelatihan yang tepat sasaran, efektif, maupun dinamis. Aplikasi teori SDM maupun perilaku seperti social learning, pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran jarak jauh (distance learning), paham konstruktif (constructivism), aliran strength based (positive-based management), aliran perilaku manusia (behaviourism), maupun paham kognitif (cognitivism) akan sangat membantu pengembangan material pelatihan bagi instruktur maupun training specialist. 
Model ASSURE menggunakan enam tahapan yaitu:
1.  Analyze Learners
Menganalisa siswa adalah salah satu faktor yang wajib dilakukan sebelum melaksanakan pembelajaran. Ada 3 hal yang semestinya diperhatikan dalam menganalisa siswa :
a.  Karakteristik Umum
    Yang termasuk dalam karakteristik umum adalah usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, kebudayaan, dan faktor sosial ekonomi. Karakteristik umum ini dapat digunakan untuk menuntun kita dalam memilih metode dan media untuk pembelajaran.
b.  Spesifikasi Kemampuan Awal
    Berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Informasi ini dapat kita temukan bila dilakukan entering behavior dengan pretest atau semacamnya. Hasil dari entry test ini dapat dijadikan acuan tentang hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu lagi disampaikan kepada siswa.
c.   Gaya Belajar
    Gaya belajar berasal atau timbul dari adanya kenyamanan yang kita rasakan (secara psikologis dan emosional) saat kita menerima dan berinteraksi dengan lingkungan belajar, karena itu muncul modalitas dalam belajar (visual, audiotorial, dan kinestetik).
2.  State Objectives
Perumusan tujuan ini berkaitan dengan apa yang ingin dicapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perumusannya adalah : 
a.  Tetapkan ABCD
    A (audiens – instruksi yang kita ajukan harus fokus kepada apa yang harus dilakukan pembelajar bukan pada apa yang harus dilakukan pengajar), B (behavior – kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan baru yang harus dimiliki pembelajar setelah melalui proses pembelajaran dan harus dapat diukur), C (conditions – kondisi pada saat performans sedang diukur), D (degree – kriteria yang menjadi dasar pengukuran tingkat keberhasilan pembelajar). 
b.  Mengklasifikasikan Tujuan
    Maksud dari mengklasifikasikan tujuan disini adalah untuk menentukan pembelajaran yang akan kita laksanakan lebih cenderung ke domain mana ? kognitif, afektif, psikomotor, atau interpersonal. 
c.   Perbedaan Individu
    Berkaitan dengan kemampuan individu dalam menuntaskan atau memahami sebuah materi yang diberikan. Individu yang tidak memiliki kesulitan belajar dengan yang memiliki kesulitan belajar pasti memiliki waktu ketuntasan terhadap materi yang berbeda. Untuk mengatasi hal tersebut, maka timbullah mastery learning (kecepatan dalam menuntaskan materi tergantung dengan kemampuan yang dimiliki tiap individu)
3.  Select Methods, Media, and Material
Pemilihan metode intruksional sangat ditentukan dengan sistausi dan kondisi siswa dan lingkungan pendidikan. Dalam hal ini tidak ada satu metode yang lebih dari metode yang lain dan tidak ada satu metode yang dapat menyenangkan/ menjawab kebutuhan siswa secara seimbang dan menyeluruh.
Pemilihan media yang yang tepat tentu sangat penting dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena media yang tidak tepat akan berakibat serius pada proses pembelajaran.
Materi/bahan yang kita gunakan dalam proses pembelajaran, bisa yang sudah siap pakai, hasil modifikasi kita, atau hasil desain baru. Bagaimanapun caranya kita mengumpulkan materi, pada intinya adalah materi tersebut harus sesuai dengan tujuan dan karakteristik si pembelajar. 
4.  Utilize Media and Materials
Sebelum kita memanfaatkan media dan bahan yang ada, alangkah bijaksananya jika kita melaksanakan “ritual” seperti :
a.    mengecek bahan (masih layak pakai atau tidak)
b.    mempersiapkan bahan
c.    mempersiapkan lingkungan belajar
d.    mempersiapkan pembelajar
e.    menyediakan pengalaman belajar (terpusat pada pengajar atau pembelajar).
5.  Require Learner Participation
Dalam mengaktifkan pembelajar di dalam proses pembelajaran alangkah baiknya kalau ada sentuhan psikologisnya. Berikut adalah gambaran dari adanya sentuhan psikologis dalam proses pembelajaran :
a.  behavioris, karena tanggapan/respon yang sesuai dari pengajar dapat menguatkan stimulus yang ditampakkan pembelajar.
b.  kognitifis, karena informasi yang diterima pembelajar dapat memperkaya skema mentalnya.
c.   konstruktivis, karena pengetahuan yang diterima pembelajar akan lebih berarti dan bertahan lama di kepala jika mereka mengalami langsung setiap aktivitas dalam proses pembelajaran.
d.  sosial, karena feedback atau tanggapan yang diberikan pengajar atau teman dalam proses pembelajaran dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengoreksi segala informasi yang telah diterima dan juga sebagai support secara emosional.
6.  Evaluate and Review
Evaluasi dan me-review adalah hal yang lazim dilakukan untuk melihat seberapa jauh media dan teknologi yang digunakan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar