A. Entering Behavior Siswa
Hasil akhir dari proses pembelajaran tercermin dalam perubahan perilaku peserta didik, baik secara material-substansial, struktural-fungsional, maupun behavioral. Persoalannya adalah apakah prestasi yang dicapai peserta didik benar-benar mencerminkan hasil dari proses pembelajaran yang dilaksanakan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan suatu penjajakan awal terhadap perilaku peserta didik sebelum mereka mengikuti kegiatan belajar mengajar. Proses penjajakan ini dikenal dengan istilah Entering Behavior, yakni gambaran mengenai karakteristik pengetahuan, keterampilan, sikap, serta kesiapan peserta didik sebelum memulai pembelajaran (Hamalik, 2009: 77).
Menurut Abin Syamsuddin (dalam Mansyur, 1991: 12), entering behavior dapat diidentifikasi melalui beberapa cara:
1. Pendekatan Tradisional, yaitu dengan memberikan pertanyaan lisan mengenai materi yang pernah disampaikan sebelumnya.
2. Pendekatan Inovatif, yaitu dengan mengembangkan instrumen evaluasi dan melaksanakan pre-test sebelum pembelajaran dimulai.
Deskripsi entering behavior memberikan sejumlah informasi penting yang sangat membantu guru dalam merancang proses pembelajaran, antara lain:
1. Mengetahui kesiapan (readiness), kematangan (maturation), dan tingkat penguasaan (mastery) peserta didik terhadap materi prasyarat yang relevan dengan pembelajaran yang akan dilakukan.
2. Menentukan metode, bahan ajar, prosedur, dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.
3. Menyediakan tolok ukur berupa nilai pretest yang dapat dibandingkan dengan nilai posttest, sehingga deviasi antara keduanya dapat dijadikan indikator keberhasilan pembelajaran (Hamalik, 2009: 78).
Dimensi yang perlu diperhatikan dalam mengkaji entering behavior mencakup:
1. Ruang lingkup pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik.
2. Tingkat kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor yang telah terbentuk.
3. Kesiapan psikologis dan kematangan fungsi-fungsi psiko-fisik peserta didik.
Sebelum merencanakan pembelajaran, guru sebaiknya menggali informasi mengenai:
- Penguasaan materi prasyarat,
- Jenis kompetensi yang telah dimiliki siswa,
- Kesiapan dan motivasi belajar,
- Minat serta kecenderungan belajar,
- Faktor pribadi seperti kecerdasan, bakat khusus, prestasi sebelumnya, kesehatan, karakter, sikap, cita-cita, kebiasaan belajar, hubungan sosial, dan latar belakang keluarga (Mansyur, 1991: 13).
Pengetahuan mengenai aspek-aspek tersebut memungkinkan guru merancang strategi pembelajaran yang lebih tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik.
B. Pola-pola Belajar Siswa
Menurut Robert M. Gagné, proses belajar dapat dikategorikan ke dalam delapan tipe (dalam Hamalik, 2009: 77–78), masing-masing memiliki karakteristik dan syarat berlangsungnya, yaitu:
1. Signal Learning (Belajar Isyarat)
Tahap paling dasar di mana peserta didik belajar merespons suatu stimulus secara refleks atau tidak disengaja. Bentuk pembelajaran ini identik dengan classical conditioning.
2. Stimulus–Response Learning (Belajar Stimulus–Respon)
Termasuk dalam instrumental conditioning, di mana siswa belajar melalui proses trial and error. Faktor penguat (reinforcement) memegang peranan penting dalam tipe ini (Kimble, 1961).
3. Chaining (Mempertautkan)
Siswa belajar menghubungkan serangkaian respons sederhana menjadi suatu rangkaian perilaku yang lebih kompleks.
4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Hampir setara dengan chaining, namun difokuskan pada keterkaitan pola stimulus–respon verbal. Syarat utamanya adalah adanya penguasaan pola S-R sebelumnya, serta penerapan pengulangan dan penguatan.
5. Discrimination Learning (Belajar Membeda-bedakan)
Peserta didik belajar memilih respons yang tepat di antara dua atau lebih stimulus. Hal ini memerlukan pengalaman sebelumnya dan keterampilan dalam chaining serta association.
6. Concept Learning (Belajar Konsep)
Peserta didik belajar mengklasifikasikan objek atau peristiwa berdasarkan kesamaan ciri-ciri tertentu, sehingga terbentuk suatu konsep.
7. Rule Learning (Belajar Kaidah atau Aturan)
Tahap di mana peserta didik menggabungkan berbagai konsep untuk membentuk prinsip, hukum, atau aturan melalui proses logika formal seperti induksi, deduksi, analisis, sintesis, asosiasi, dan diferensiasi.
8. Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Tingkat tertinggi di mana peserta didik belajar merumuskan masalah, memilih strategi pemecahan, dan menemukan solusi menggunakan prinsip-prinsip yang telah dikuasai sebelumnya.
Gagné menegaskan bahwa setiap tipe belajar memiliki prasyarat tersendiri yang perlu diperhatikan guru dalam menyusun kegiatan pembelajaran. Misalnya, pembelajaran konsep memerlukan keterampilan diskriminasi terlebih dahulu, sedangkan pemecahan masalah membutuhkan penguasaan kaidah dan konsep secara memadai (Hamalik, 2009: 78).
C. Kesimpulan
Pemahaman terhadap entering behavior dan pola-pola belajar siswa merupakan langkah fundamental dalam perancangan pembelajaran yang efektif. Guru yang memahami karakteristik awal siswa dapat merancang strategi, metode, dan media pembelajaran yang sesuai, sekaligus mengevaluasi pencapaian belajar dengan lebih akurat. Selain itu, pengenalan pola-pola belajar menurut Gagné memungkinkan guru merancang pengalaman belajar yang berjenjang, dari yang paling sederhana hingga yang kompleks, sesuai dengan kesiapan peserta didik.
Referensi
- Hamalik, O. (2009). Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. hal. 77–78.
- Kimble, G. A. (1961). Hilgard and Marquis' Conditioning and Learning. New York: Appleton-Century-Crofts.
- Mansyur. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI. hal. 12–13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar